Alkimia di Eropa Zaman Pertengahan


Karena kuatnya hubungan dengan kebudayaan Yunani dan Romawi , alkimia diterima dengan mudah oleh filsafat Kristen, dan para alkimiawan Eropa zaman pertengahan memperluas penyerapannya terhadap pengetahuan alkimia Islam. Gerbert of Aurillac, yang kemudian menjadi Paus Silvester II, (meninggal 1003) adalah salah seorang di antara yang pertama membawa ilmu pengetahuan Islam ke Eropa dari Spanyol. Tokoh sesudahnya seperti Adelard of Bath, yang hidup pada abad 12, membawa pengetahuan tambahan. Tetapi sampai dengan abad 13 gerakan-gerakan tersebut terutama bersifat asimilatif. (Hollister h. 124, 294)

Pada periode ini muncul beberapa penyimpangan terhadap prinsip Augustinian dari para pemikir Kristen awal. Saint Anselm (1033–1109) adalah seorang Benedictine (pengikut St. Benedict) yang mempercayai bahwa keyakinan/iman harus mendahului rasionalisme, sebagaimana Augustine serta kebanyakan teolog sebelum Anselm mempercayai, akan tetapi Anselm lebih berpendapat bahwa iman dan rasionalisme bersifat sesuai dan ia menyemangati rasionalisme di dalam konteks Kristen. Pandangan-pandangannya menyiapkan tempat terjadinya ledakan filsafat. Saint Abelard seorang penganut karya Anselm, meletakkan dasar diterimanya pemikiran Aristotelian sebelum karya-karya pertama Aristoteles menjangkau dunia Barat. Pengaruh besarnya pada alkimia adalah keyakinannya bahwa alam semesta Platonis tidak memiliki eksistensi terpisah di luar kesadaran manusia. Abelard juga men-sistematika-kan analisis kontradiksi-kontradiksi filsafat. (Hollister, p. 287-8)

Robert Grosseteste (1170–1253) adalah perintis teori ilmiah yang kemudian digunakan dan dipoles oleh para ahli kimia. Ia mengambil metode analisis Abelard dan menambahkan penggunaan pengamatan, eksperimentasi, dan penyimpulan dalam membuat evaluasi ilmiah. Grosseteste juga banyak menjembatani pemikiran Platonis dan Aristotelian. (Hollister hh. 294-5)

Albertus Magnus (1193–1280) dan Thomas Aquinas (1225–1274) keduanya adalah pengikut Dominican yang mempelajari Aristoteles dan berusaha mendamaikan kesenjangan antara filsafat dengan agama Kristen. Aquinas banyak menyumbangkan karya dalam pengembangan metode ilmiah. Lebih jauh lagi, ia menyatakan bahwa alam semesta bisa diketahui dengan hanya melalui pemikiran logis: ini bertentangan dengan keyakinan Platonis yang umumnya dipegang bahwa alam semesta hanya bisa diketahui semata-mata melalui ilham ketuhanan. Magnus dan Aquinas adalah di antara yang pertama-tama menguji teori alkimiawi, dan mereka bisa juga dianggap sebagai alkimiawan, dengan perkecualian bahwa mereka hanya melakukan sedikit eksperimentasi. Salah satu sumbangan Aquinas yang utama adalah keyakinan bahwa karena akal pikiran tidak akan tidak sejalan dengan kehendak Tuhan, maka akal pikiran pasti sesuai dengan teologi. (Hollister h. 290-4, 355)

Seorang alkimiawan sejati pertama di Eropa Zaman Pertengahan adalah Roger Bacon. Karyanya untuk alkimia adalah sebanyak yang dihasilkan Robert Boyle untuk ilmu kimia dan Galileo Galilei untuk astronomi dan fisika. Bacon (1214–1294) adalah Fransiskan Oxford yang menjelajahi bidang ilmu optik dan bahasa selain alkimia. Ide pengikut Fransiskan untuk ambil bagian di dunia bukannya menolak dunia membawanya pada keyakinan bahwa eksperimentasi lebih penting daripada pemikiran: " Di antara tiga cara di mana manusia merasa memperoleh pengetahuan: otoritas (karena itu adalah haknya), pemikiran, pengalaman; maka hanya yang terakhirlah yang efektif dan mampu mendamaikan akal budi." (Bacon p. 367) "Ilmu Pengetahuan Eksperimental menguasai kesimpulan semua bidang ilmu pengetahuan. Ia mengungkapkan kebenaran-kebenaran di mana pembuktian dari prinsip/hukum-hukum umum tidak diketemukan sebelumnya." (Hollister h. 294-5) Roger Bacon juga dikenal sebagai yang memulai pencarian batu filsuf serta obat mujarab untuk kehidupan (the elixir of life): "Obat itu akan menghilangkan semua kekotoran dan sifat-sifat buruk dari beberapa jenis logam, dalam pendapat bijaksananya, melenyapkan banyak sifat-sifat buruk yeng mungkin telah berada di tubuh manusia selama berabad-abad." Ide tentang keabadian diganti dengan gagasan tentang umur panjang; setelah itu semua, kehidupan manusia di Bumi hanya sekedar menunggu dan menyiapkan diri untuk keabadian di dunia Tuhan. Ide tentang keabadian di Bumi tidak berbenturan dengan teologi Kristen.(Edwardes h. 37-8)

Bacon bukan hanya dikenal sebagai seorang alkimiawan di puncak jaman pertengahan,melainkan juga yang paling signifikan. Karya-karyanya dipakai oleh para alkimiawan yang tak terhitung jumlahnya dari abad limabelas sampai sembilanbelas. Alkimiawan lain di masa Bacon memiliki beberapa ciri yang sama. Pertama, dan yang paling jelas, yaitu hampir semuanya adalah anggota kependetaan (clergy). Mudahnya, ini disebabkan karena sedikit orang di luar sekolah parokial mendapatkan pelajaran yang meneliti karya-karya turunan dari karya Arab. Juga, alkimia pada masa ini disetujui oleh gereja sebagai metode yang baik untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teologi. Alkimia juga menarik bagi orang-orang gereja karena ia menawarkan pandangan rasionalistik tentang alam semesta di mana saat itu manusia baru mulai belajar tentang rasionalisme.(Edwardes h. 24-7)

Maka pada akhir abad tigabelas, alkimia berkembang menjadi sebuah sistem keyakinan yang hampir terstruktur. Para ahli percaya pada teori makrokosmos-mikrokosmos dari Hermes, itu berarti, mereka mempercayai bahwa proses yang berpengaruh pada mineral dan zat-zat lain juga akan berpengaruh pada tubuh manusia (misalnya, jika seseorang bisa mempelajari rahasia pemurnian emas, maka ia bisa menerapkan tekniknya untuk memurnikan jiwa manusia. Mereka percaya pada empat unsur dan empat kualitas yang telah diuraikan di atas, dan mereka memiliki tradisi kuat untuk membungkus ide-ide tulisan mereka ke dalam ruangan labirin jargon yang bersandi, penuh dengan jebakan yang membingungkan. Akhir kata, alkimiawan mempraktekkan seni mereka: mereka bereksperimen secara aktif dengan bahan kimiawi serta membuat observasi dan teori tentang bagaimana cara alam semesta bekerja. Keseluruhan filsafat mereka berkisar antara keyakinan mereka bahwa jiwa manusia terpisah di dalam diri manusia sejak jatuhnya Adam. Dengan memurnikan dua sisi jiwa itu, manusia bisa kembali menyatu dengan Tuhan. (Burckhardt h. 149)

Pada abad empatbelas, pandangan-pandangan ini mengalami perubahan penting. William of Ockham, seorang Fransiskan Oxford yang meninggal pada 1349, menyerang pandangan kaum Thomist tentang kesesuaian antara iman dan pemikiran. Pandangannya, diterima secara luas sekarang, bahwa Tuhan hanya semata-mata diterima lewat iman; Ia tidak bisa dibatasi oleh pemikiran manusia. Tentu saja pandangan ini tidak salah apabila seseorang menerima dalil tentang ketakterbatasan Tuhan versus keterbatasan kemampuan pemikiran manusia, tapi ini secara tidak langsung menghapus praktek alkimia di abad empatbelas dan limabelas. (Hollister p. 335) Paus Yohanes XXII di awal tahun 1300 mengeluarkan fatwa menentang alkimia, di mana hasilnya adalah membersihkan semua personinl gereja dari praktek Seni. (Edwardes, p.49) Iklim berubah, Black plague, dan meningkatnya peperangan serta bencana kelaparan yang menandai abad ini, tidak diragukan lagi juga menghambat pencarian filsafat secara umum.

Alkimia dijaga kehidupannya oleh orang semacam Nicolas Flamel, ia patut diperhitungkan karena ia adalah seorang di antara sedikit alkimiawan yang menulis pada saat sulit tersebut. Flamel yang hidup dari tahun 1330 sampai 1417 merupakan pembuat pola dasar (archetype) dari alkimia tahap selanjutnya. Dia bukan seorang dari kalangan relijius sebagaimana kebanyakan pendahulunya, Dan seluruh ketertarikannya pada subjek seputar pencarian batu filsuf, di mana ia dianggap telah menemukannya; karya-karyanya banyak menghabiskan waktu dengan uraian proses dan reaksi-reaksi, tapi tidak pernah benar-benar memberikan rumus terjadinya transmutasi. Kebanyakan karya-karyanya bertujuan mengumpulkan pengetahuan alkimia yang telah ada sebelumnya, khususnya yang berkaitan dengan batu filsuf. (Burckhardt pp.170-181)

Selama akhir zaman pertengahan (1300-1500) para alkimiawan kebanyakan seperti Flamel: mereka berkonsentrasi pada pencarian batu filsuf dan obat awet muda (elixir of youth), yang sekarang dipercayai sebagai dua hal terpisah. Kiasan yang samar-samar dan simbolisme dalam tulisan mengarah pada penafsiran yang bervariasi. Misalnya, kebanyakan alkimiawan pada periode ini menafsirkan pemurnian jiwa untuk mengartikan transmutasi timah menjadi emas (di mana mereka percaya bahwa air raksa elemental, atau 'quicksilver', memiliki peranan penting). Mereka ini dianggap sebagai tukang sihir oleh kebanyakan orang, dan seringkali disiksa karena praktek-praktek mereka. (Edwards hh. 50-75; Norton hh lxiii-lxvii)

Tycho Brahe, yang lebih dikenal dengan penyelidikannya tentang astronomi dan astrologi, juga seorang alkimiawan. Ia memiliki laboratorium yang dibangun untuk tujuan itu di institut observatorium/riset Uraniborg.

Salah seorang yang namanya muncul di awal abad enambelas adalah Heinrich Cornelius Agrippa. Alkimiawan ini percaya bahwa dirinya adalah seorang ahli sihir, dalam arti sebenarnya merasa bahwa dirinya mampu memanggil makhluk gaib. Pengaruhnya tidak begitu berarti, tetapi seperti halnya Flamel, ia menghasilkan tulisan-tulisan yang menjadi acuan para alkimiawan tahun-tahun sesudahnya. Sekali lagi seperti halnya Flamel, ia berbuat banyak untuk merubah alkimia dari filsafat yang sifatnya mistis menjadi magic okultis. Ia meneruskan filosofi para alkimiawan terdahulu, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan eksperimental, numerologi dsb., tapi ia menambahkan teori magic, yang mana ini menguatkan ide alkimia sebagai keyakinan okultist. Meskipun demikian, Agrippa adalah tetap seorang Kristen, walaupun pandangannya seringkali mengalami konflik dengan gereja. (Edwardes p56-9; Wilson p.23-9)



Source : http://id.wikipedia.org/wiki/Alkimia

Posted in . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

One Response to Alkimia di Eropa Zaman Pertengahan

Terimakasih...
:)

WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com
Dimas Prast Banjarnegara